Makalah "Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia"
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah dalam bahasa Arab, tarikh atau history (Inggris) adalah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kronologi berbagai peristiwa.[1] Sejarawan Indonesia, seperti Sartono Kartodirjo dalam bukunya Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, membagi pengertian sejarah pada pengertian subjektif adan objektif.
Sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk, yakni bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Uraian atau cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkai akan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur. Sejarah dalam arti objektif adalah menunjuk kejadian atau peristiwa itu sendiri, yakni proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan tidak dapat diulang atau terulang lagi.[2]
Sejarah adalah kejadian yang sudah terjadi pada waktu yang lalu. Indonesia mempunyai banyak peristiwa yang pernah terjadi, mulai dari sejarah Indonesia dijajah oleh bangsa Portugis, Belanda, Jepang dll. Sejarah tentang masuknya agama ataupun kebudayaan yang ada di Indonesia juga banyak, terbukti dengan adanya peninggalan sejarah sebagai bukti otentik suatu kejadian pernah terjadi. Sebagai Negara yang menghargai sejarah, banyak peristiwa yang harus diketahui.
Agama Islam merupakan agama yang mulia dan umatnya paling banyak baik di Indonesia ataupun seluruh dunia. Terutama di Indonesia, Islam masuk ke wilayah Negara Indonesia mulai abad ke-7 M. Untuk mengetahui bagaimana sejarah masuknya Islam ke Indonesia dan perkembangan Islam di Indonesia serta peran para ulama atau wali dalam menyebarkan agama Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia?
2. Apa saja teori-teori yang membahas masuknya Islam ke Indonesia?
3. Apa alasan atau sebab-sebab Islam cepat berkembang di Indonesia?
4. Bagaimana perkembangan Islam melalui kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia?
5. Bagaimana peranan para walisongo dalam menyebar luaskan agama Islam?
6. Dalam bentuk apa saja pengaruh agama Islam terhadap Negara Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah awal mula Islam masuk ke Indonesia
2. Menambah wawasan teori-teori yang ada mengenai masuknya Islam ke Indonesia.
3. Mengetahui penyebab atau alasan percepatan agama Islam berkembang di Indonesia.
4. Untuk mengetahui kerajaan-kerajaan Islam yang berkembang di Indonesia.
5. Menambah informasi dan pengetahuan tentang peranan para walisongo dalam menyiarkan agama Islam di Indonesia.
6. Mengetahui pengaruh yang dihasilkan dari perkembangan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Islam bukan merupakan agama pertama yang masuk ke Indonesia melainkan ada berbagai macam kepercayaan dan agama lain seperti Hindu, Budha, animisme dan dinamisme yang sudah banyak dianut oleh masyarakat Indonesia.
Terdapat dua pendapat mengenai masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, pendapat lama yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. Pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana, antara lain N.H. Krom dan Van Den Berg. Kemudian ternyata pendapat lama tersebut mendapat sanggahan dan bantahan.[3]
Kedua, pendapat baru yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau abad 1 Hijriyah. Pendapat baru ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Hamka, Sayed Alwi bin Tahir Alhadad, A. Hajsmy, dan Thomas W. Arnold.[4]
Menurut para ahli sejarah Islam datang diperkirakan pada abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriyah, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan.Namun dari sumber lain, ada yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesiapada abad ke-13 Masehi dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibu kota abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan kearah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Bersamaan dengan para pedagang datang pula da’i-da’i dan musafir-musafir sufi. Melalui jalur pelayaran itu pula mereka dapat berhubungan dengan pedagang dari negeri-negeri di ketiga bagian benua Asia itu. Hal itu memungkinkan terjadinya hubungan timbal balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat muslim. Pertumbuham perkampungan ini makin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi membentuk struktur pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu, kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan Malik As-Shaleh.[5]
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut:
1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran .
2. Dakwah, yang dilakukan oleh Mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang.
3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara padagang Muslim, Mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim.
4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
5. Tasawuf dan Tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang, datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara.
6. Kesenian. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni. Walisongo, terutama Sunan Kalijaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk Islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyanyian, dan seni busana.[6]
7. Politik. Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di daerah inii. Di samping itu, baik di Sumatra dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, semi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.[7]
Melalui saluran-saluran itu Islam secara berangsur-angsur menyebar. Penyebaran Islam di Indonesia dibagi dalam tiga tahap. Pertama, dimulai dengan kedatangan Islam, yang diikuti oleh kemerosotan dan keruntuhan Majapahit pada abad ke-14 sampai abad ke-15. Kedua, sejak datang dan mapannya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia sampai abad ke-19. Ketiga, bermula pada awal abad ke-20 dengan terjadinya “liberalisasi” kebijaksanaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Dalam tahapan-tahapan itu akan terlihat proses islamisasi sampai mencapai tingkat seperti sekarang.[8]
B. Teori-teori tentang Masuknya Islam di Indonesia
Sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, ada tiga teori yang berkembang, yaitu teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Ketiga teori tersebut, saling mengemukakan perspektif tentang kapan masuknya Islam, asal negara penyebar atau pembawa Islam ke Indonesia.
1. Teori Gujarat
Teori gujarat dikenal juga dengan teori India. Teori ini berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat (Cambay) pada abad 13 M. Teori ini berdasar pada:
a. minimnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia,
b. adanya hubungan dagang antara saudagar di nusantara dengan pedagang dari India, dan
c. adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgr onye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke.[9]
2. Teori Makkah
Teori ini juga dikenal dengan teori Arab dan merupakan teori baru tentang masuknya Islam di Indonesia yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Adapun fakta pendukung teori ini adalah:
a. sesuai dengan warta dari Cina bahwa para pedagang Arab sudah sejak abad ke-4 mendirikan perkampungan di Kanton. Pada abad ke-7 tepatnya 674 M, di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab),
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, yaitu madzhab yang juga banyak berpengaruh di Mesir dan Mekkah saat itu. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi,
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.[10]
3. Teori Persia
Sama seperti teori Gujarat, teori Persia berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13, dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Teori ini berdasarkan adanya kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam seperti:
a. adanya peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Kegiatan tersebut diperingati di berbagai tempat di Indonesia, di Sumatra Barat peringatan Asyura disebut dengan upacara Tabuik/Tabut dan sedangkan di pulau Jawa biasanya ditandai dengan pembuatan bubur Syuro,
b. adanya kesamaan ajaran sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi Persia, yaitu Al – Hallaj,
c. penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi harakat, dan
d. ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Teori Persia ini didukung oleh Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.[11]
C. Sebab-sebab Islam Cepat Berkembang di Indonesia
Dalam waktu yang relatif cepat, ternyata agama Islam dapat diterima dengan baik oleh sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia, mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja. Sehingga penganut agama ini pada akhir abad ke-6 H (abad ke-12 M), dan tahun-tahun selanjutnya, berhasil menjadi suatu kekuatan muslim Indonesia yang ditakuti dan diperhitungkan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan agama Islam cepat berkembang di Indonesia. Menurut Dr. Adil Muhyidin Al-Allusi, seorang penulis sejarah Islam dari Timur Tengah, dalam bukunya Al-Urubatu wal Islamu fi Syarfi Asia alhindu wa Indonesia, menyatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan Islam cepat berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1. Faktor Agama
Faktor agama, yaitu akidah Islam itu sendiri dan dasar-dasarnya yang memerintahkan menjunjung tinggi kepribadian dan menigkatkan harkat dan martabatnya, menghapuskan kekuasaan kelas rohaniwan seperti Brahmana dalam sistem kasta yang diajarkan Hindu. Masyarakat diyakinkan bahwa dalam Islam semua lapisan masyarakat sama kedudukannya, tidak ada yang lebih utama dalam pandangan Allah SWT kecuali karena taqwanya masyarakat tersebut. Mereka juga sama di dalam hukum, tidak ada yang diistimewakan meskipun ia keturunan bangsawan. Dengan demikian, semua lapisan masyarakat dapat saling hidup rukun, bersaudara, bergotong royong, saling merhargai, saling mengasihi, bersikap adl, sehingga toleransi Islam merupakan ciri utama bangsa ini yang dikenal dunia hingga dewasa ini.
Selain itu akidah sufi kaum muslimin juga ikut membantu memasyarakatkan Islam di Indonesia, karena memiliki banyak persamaan dengan kepercayaan kuno Indonesia yang cenderung menghargai pada pandanga dunia mistik. Seperti kepercayaan pada tiga dewa: kecantikan, kesenian, dan kemahiran yang diwariskan Hindu, yang dasarnya animisme.[12]
2. Faktor Politik
Faktor politik yang diwarnai oleh pertarungan dalam negeri antara negara-negara bagian itu dengan pemerintah pusatnya yang beragama Hindu. Hal tersebut mendorong para penguasa, para bangsawan, dan para pejabat di negara-negara bagian tersebut untuk menganut agama Islam, yang dipandang mereka sebagai senjata ampuh untuk melawan dan menumbangkan kekuatan Hindu, agar mendapat dukungan kuat dari seluruh lapisan masyarakat. Hal itu dapat dibuktikan hingga kini, bahwa apabila semangat keislaman dibangkitkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia, baik di Sumatera Jawa, maupun kepulauan Indonesia lainnya dengan mudah sekali seluruh kekuatan dan semangat keislaman itu akan bangkit serentak sebagai suatu kekuatan yang dahsyat.[13]
3. Faktor Ekonomis
Faktor ekonomis, yang pertama diperankan oleh para pedagang yang menggunakan jalan laut, baik antar kepulauan Indonesia sendiri, maupun yang melampaui perairan Indonesia ke Cina, India, dan Teluk Arab/Parsi yang merupakan pendukung utamanya, karena telah memberikan keuntungan yang tidak sedikit sekaligus mendatangkan bea masuk yang besar bagi pelabuhan-pelabuhan yang disinggahinya, baik menyangkut barang-barang yang masuk maupun keluar.[14]
Dalam perdagangan itu bukan hanya para pedagang tetapi di antara mereka terdapat para penguasa negara-negara bagian, pejabat negara, dan kaum bangsawan. Karena perdagangan melalui lautan Indonesia dan India hampir seluruhnya dikuasai para pedagang Arab, maka para pedagang Indonesia yang terdiri dari pejabat dan bangsawan itu bertindak sebagai agen-agen barang Indonesia yang akan dikirim keluar dan sebagai penyalur barang-barang yang masuk ke Indonesia, banyak berhubungan dengann para pedagang muslim Arab yang sekaligus mengajak mereka kepada agama baru itu. Menurut riwayat, Sultan Pasai yang muslim itu mau membuka pasar-pasarnya bagi penguasa Kerajaan Malaka asalkan mereka bersedia menganut agama islam.
Demikianlah perdagangan antara kepulauan Indonesia berjalan pesat sekali, sehingga Islam berhasil mencapai Irian dan Papua, sementara orang-orang Hindu bertahan di Bali dan Lombok Barat.[15]
Pada masa perdagangan islam begitu cepat mendapat pengikut banyak dikarenakan antara lain, portabilitas (siap pakai) system keimanan Islam, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer, memperkenalkan militer, memperkenalkan tulisan, mengajarkan penghapalan, kepandaian dalam penyembuhan, dan pengajaran tentang moral.
D. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Pada perkembangan masuknya agama Islam di Indonesia disalurkan melalui berbagai kerajaan-kerajaan yang tersebar di Indonesia meliputi Jawa, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Sumatera. Berikut adalah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-3 Hijriyah (abad ke-9 Masehi). Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlayar di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nahkoda khalifah. Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayid Andul Aziz yang merupakan Raja Pertama Kerajaan Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Prof. Dr. Slamet Muljana menyatakan bahwa pada akhir abad ke-12 di pantai timur Sumateraterdapat negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Persi dan Gujarat yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan Raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak, bernama Alauddin Syah.
Angkatann dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi.[16]
Adapun para Raja Kerajaan Perlak adalah sebagai berikut.
1. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864 M)
2. Sultan Alaiddin Maulana Abdur Rahim Syah (864-888 M)
3. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abbas Syah (888-913 M)
4. Sultan Alaiddin Sayid Maulana Ali Mughayat Syah (915-918 M) terjadi pergolakan (918-928 M)
5. Sultan Makhdum Alauddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat (928-932 M)
6. Sultan Makhdum Alauddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (932-956 M)
7. Sultan Makhdum Abdul Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (956-983 M).[17]
2. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai didirikan oleh Maurah Selu dengan gelar Sultan Al-Malikush Shalih (1261-1289 M). Maurah Selu masih keturunan Raja Perlak, Sultan Makhdum Abdul Malik Ibrahim Johan Berdaulat.[18]
Akan tetapi menurut pendapat Hasyimi, berdasarkan naskah tua yang berjudul Izhharul Haq yang ditulis oleh Al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang, sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureula (Perlak) pada pertengahan abad ke-9.
Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak mengalami kemunduran. Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudra yang berhasil mempersatukan daerah Samudra dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan Selat Malaka[19]
A. Kondisi Politik
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venesia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan.[20]
Ibnu Batutah, seorang pengembara muslim, dalam Rihlah Ibnu Batutah menyebutkan bahwa Ibnu Batutah tiba di Samudra Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Malikuzh Azh-Zhahir pada tahun 1345 M.
Adapun para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Samudra Pasai adalah sebagai berikut.
1. Sultan Malik Azh-Zhahir (1297-1326 M)
2. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1326-1345 M)
3. Sultan Manshur Malik Azh-Zhahir (1345-1346 M)
4. Sultan Ahmad Malik Azh-Zhahir (1346-1383 M)
5. Sultan Zainal Abidin Malik Azh-Zhahir (1383-1405 M)
6. Sultan Nahrasiyah (1405 M)
7. Sultan Abu Zaid Malik Azh-Zhahir (1455 M)
8. Sultan Mahmud Malik Azh-Zhahir (1455-1477M)
9. Sultan Zainal Abidin (1477-1500 M)
10. Sultan Abdullah Malik Azh-Zhahir (1500-1513M)
11. Sultan Zainal Abidin (1513-1524 M)
Kerajaan Samudra Pasai berakhir tahun 1524 M, katika direbut oleh Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[21]
B. Kehidupan Ekonomi
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transit. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka. Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Tahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batutah.
Menurut cerita Ibnu Batutah, perdagangan di Samudra Pasai semakin ramai dan bertambah maju karena didukung oleh armada laut yang kuat, sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman berdagang di Samudra Pasai. Komoditi perdagangan dari Samudra yang penting adalah lada, kapurbarus dan emas. Dan untuk kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).[22]
C. Kehidupan Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi makmur. Dan di samping itu juga kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup saling menghormati sesuai dengan syariat Islam.
Dapat dilihat pada Nisan Makam Sultan Malik al-Saleh yang berarti kerajaan Samudra Pasai bersifat terbuka dalam menerima budaya lain yaitu dengan memadukan budaya Islam dengan budaya India.[23]
3. Kerajaan Demak
Sebelum dikenal dengan nama Demak, daerah tersebut dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit. Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit.
Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, dimana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
A. Kehidupan Politik
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 - 1518).
Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511. Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518-1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan. Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur. Kekuasaan Sultan Trenggono berhasil dikembangkan antara lain karena Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa (Pajajaran) dan Blambangan.
Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis dapat dipukul mundur di Teluk Jakarta. Kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi.
Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan berhasil direbut, Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan.
Dengan meninggalnya Sultan Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra Sekar Sedolepen). Perang saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
B. Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nasional sehingga memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat Demak lebih berdasarkan pada agama dan budaya Islam karena pada dasarnya Demak adalah pusat penyebaran Islam. Sebagai pusat penyebaran Islam Demak menjadi tempat berkumpulnya para wali seperti Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Bonang.
Para wali tersebut memiliki peranan yang penting pada masa perkembangan kerajaan Demak bahkan para wali tersebut menjadi penasehat bagi raja Demak. Dengan demikian terjalin hubungan yang erat antara raja/bangsawan-para wali/ulama dengan rakyat.
Hubungan yang erat tersebut, tercipta melalui pembinaan masyarakat baik pembinaan agama maupun pembinaan sosial yang diselenggarakan di Masjid maupun Pondok Pesantren. Sehingga tercipta kebersamaan atau Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di antara orang-orang Islam).
Demikian pula dalam bidang budaya banyak hal yang menarik yang merupakan peninggalan dari kerajaan Demak. Salah satunya adalah Masjid Demak, di mana salah satu tiang utamanya terbuat dari pecahan-pecahan kayu yang disebut Soko Tatal. Masjid Demak dibangun atas pimpinan Sunan Kalijaga. Di serambi depan Masjid (pendopo) itulah Sunan Kalijaga menciptakan dasar-dasar perayaan Sekaten (Maulud Nabi Muhammad saw) yang sampai sekarang masih berlangsung di Yogyakarta dan Cirebon.[24]
4. Kerajaan Banten
Daerah ujung barat pulau Jawa yaitu Banten dan Sunda Kelapa dapat direbut oleh Demak, di bawah pimpinan Fatahillah. Untuk itu daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Demak. Setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah maka daerah Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasannudin, sedangkan Fatahillah sendiri menetap di Cirebon, dan lebih menekuni hal keagamaan. Dengan diberikannya Banten kepada Hasannudin, maka Hasannudin meletakkan dasardasar pemerintahan kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama, memerintah tahun 1552 – 1570 M.
Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah Banten sekarang, yaitu di tepi Timur Selat Sunda sehingga daerahnya strategis dan sangat ramai untuk perdagangan nasional. Pada masa pemerintahan Hasannudin, Banten dapat melepaskan diri dari kerajaan Demak, sehingga Banten dapat berkembang cukup pesat dalam berbagai bidang kehidupan.
A. Kehidupan Politik
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Berikut ini adalah raja-raja yang memerintah di Banten.
1. Sultan Hasannudin (1552 – 1570 M)
2. Panembahan Yusuf (1570 – 1580 M)
3. Maulana Muhammad (1580 – 1596 M)
4. Abulmufakir (1596 – 1640 M)
5. Abumaali Achmad (1640 – 1651 M)
6. Sultan Abdul Fatah/Sultan Ageng Tirtayasa (1651 – 1682 M)
7. Abdulnasar Abdulkahar/Sultan Haji (1682 – 1687 M)
Dalam perkembangan politiknya, selain Banten berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga berusaha memperluas daerah kekuasaannya di Jawa Barat yaitu dengan menduduki Pajajaran tahun 1519. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Banten. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan raja Panembahan Yusuf.
Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya karena sebagai kerajaan maritim, Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda. Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta. Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602.
Selain mendirikan benteng di Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat. Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC.
Dalam rangka menghadapi Belanda/VOC, Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan melakukan perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten. Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji.
Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji. Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684.
Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
B. Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa.
Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti lada. Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Kehidupan masyarakat Banten yang berkecimpung dalam dunia pelayaran, perdagangan dan pertanian mengakibatkan masyarakat Banten berjiwa bebas, bersifat terbuka karena bergaul dengan pedagang-pedagang lain dari berbagai bangsa. Para pedagang lain tersebut banyak yang menetap dan mendirikan perkampungan di Banten, seperti perkampungan Keling, perkampungan Pekoyan (Arab), perkampungan Pecinan (Cina) dan sebagainya.
Di samping perkampungan seperti tersebut di atas, ada perkampungan yang dibentuk berdasarkan pekerjaan seperti Kampung Pande (para pandai besi), Kampung Panjunan (pembuat pecah belah) dan kampung Kauman (para ulama). Dengan adanya perkampungan tersebut, membuktikan bahwa kehidupan masyarakatnya teratur, dan berlangsung dengan baik bahkan kehidupan masyarakat Banten dipengaruhi oleh ajaran Islam.
Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Banten salah satunya adalah seni bangunan. Dalam seni bangunan memperlihatkan adanya akulturasi dari berbagai kehidupan yang ada. Salah satu contoh dari wujud akulturasi tersebut adalah tampak pada bangunan Masjid Agung Banten, yang memperlihatkan wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia, Hindu, Islam dan Eropa.
Arsitek Masjid Agung Banten tersebut adalah Jan Lucas Cardeel, seorang pelarian Belanda yang beragama Islam. Kepandaiannya dalam bidang bangunan dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mendirikan bangunanbangunan gaya Belanda (Eropa) seperti benteng kota Inten, pesanggrahan Tirtayasa dan bangunan Madrasah.[25]
5. Kerajaan Mataram
Pada awal perkembangannya kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang.
Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut. Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono.
Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya. Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
A. Kehidupan Politik
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh.
Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613. Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak.
Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yangbergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintahtahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar. Pada masapemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya, kota kerajaan Mataram mula-mula di Kerta, kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai raja Mataram ia bercita-cita mempersatukan seluruh pulau Jawa d bawah kekuasaan Mataram.
Daerah-daerah yang dipersatukan oleh Mataram tersebut antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan.
Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram. Walaupun penyerangan terhadap Batavia mengalami kegagalan, namun Sultan Agung tetap berusaha memperkuat penjagaan terhadap daerah-daerah yang berbatasan dengan Batavia, sehingga pada masa pemerintahannya VOC sulit menembus masuk ke pusat pemerintahan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah. Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadudomba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera, kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah menjadi 2 wilayah kerajaan berikut.
1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
2. Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
B. Kehidupan Ekonomi
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir yang mata pencahariannya pelayaran dan perdagangan.
Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad 17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kerajaan yang bersifat agraris, maka masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodalisme. Dengan sistem tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan membayar pajak/sewa tanah.
Dengan adanya sistem feodalisme tersebut, menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan.
Sedangkan dalam bidang kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura, ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.[26]
6. Kerajaan Gowa – Tallo
Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng. Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis, daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia Timur maupun yang berasal dari Indonesia Barat. Dengan posisi strategis tersebut maka kerajaan Makasar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara.
A. Kehidupan Politik
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Rebandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593–1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 –1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak.bAtas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar.
Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar. Isi dari perjanjian Bongaya adalah sebagai berikut.
1. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
2. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
3. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
4. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
B. Kehidupan Ekonomi
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, bahwa kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagangpedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
Sebagai pusat perdagangan Makasar berkembang sebagai pelabuhan internasional dan banyak disinggahi oleh pedagang-pedagang asing seperti Portugis, Inggris, Denmark dan sebagainya yang datang untuk berdagang di Makasar.
Pelayaran dan perdagangan di Makasar diatur berdasarkan hukum niaga yang disebut dengan ade’ aloping loping bicaranna pabbalue, sehingga dengan adanya hukum niaga tersebut, maka perdagangan di Makasar menjadi teratur dan mengalami perkembangan yang pesat. Selain perdagangan, Makasar juga mengembangkan kegiatan pertanian karena Makasar juga menguasai daerah-daerah yang subur di bagian Timur Sulawesi Selatan.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai negara Maritim, maka sebagian besar masyarakat Makasar adalah nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau untuk menambah kemakmuran hidupnya.
Walaupun masyarakat Makasar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makasar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut pangadakkang. Dan masyarakat Makasar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makasar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”, sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makasar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makasar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo. Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Makasar dan terkenal sampai mancanegara.[27]
7. Kerajaan Ternate – Tidore
Kerajaan Ternate dan Tidore terletak di kepulauan Maluku. Maluku adalah kepualuan yang terletak di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Irian. Jumlah pulaunya ratusan dan merupakan pulau yang bergunung-gunung serta keadaan tanahnya subur. Keadaan Maluku yang subur dan diliputi oleh hutan rimba, maka daerah Maluku terkenal sebagai penghasil rempah seperti cengkeh dan pala.
Cengkeh dan pala merupakan komoditi perdagangan rempah-rempah yang terkenal pada masa itu, sehingga pada abad 12 ketika permintaan akan rempah-rempah sangat meningkat, maka masyarakat Maluku mulai mengusahakan perkebunan dan tidak hanya mengandalkan dari hasil hutan. Perkebunan cengkeh banyak terdapat di Pulau Buru, Seram dan Ambon. Dalam rangka mendapatkan rempah-rempah tersebut, banyak pedagang-pedagang yang datang ke Kepulauan Maluku. Salah satunya adalah pedagang Islam dari Jawa Timur. Dengan demikian melalui jalan dagang tersebut agama Islam masuk ke Maluku, khususnya di daerah-daerah perdagangan seperti Hitu di Ambon, Ternate dan Tidore.
Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam di Maluku dilakukan oleh para Mubaligh (Penceramah) dari Jawa, salah satunya Mubaligh terkenal adalah Maulana Hussain dari Jawa Timur yang sangat aktif menyebarkan Islam di maluku sehingga pada abad 15 Islam sudah berkembang pesat di Maluku. Dengan berkembangnya ajaran Islam di Kepulauan Maluku, maka rakyat Maluku baik dari kalangan atas atau rakyat umum memeluk agama Islam, sebagai contohnya Raja Ternate yaitu Sultan Marhum, bahkan putra mahkotanya yaitu Sultan Zaenal Abidin pernah mempelajari Islam di Pesantren Sunan Giri, Gresik, Jawa Timur sekitar abad 15. Dengan demikian di Maluku banyak berkembang kerajaan-kerajaan Islam.
Dari sekian banyak kerajaan Islam di Maluku, kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua kerajaan Islam yang cukup menonjol peranannya, bahkan saling bersaing untuk memperebutkan hegemoni (pengaruh) politik dan ekonomi di kawasan tersebut.
A. Kehidupan Politik
Kepulauan Maluku terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15-17. Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempahrempah tersebut, maka mendorong terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halmahera sampai Irian Barat. Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa tersebut terjadi persaingan.
Persaingan tersebut semakin nyata setelah datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku. Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate. Bangsa Barat selanjutnya yang datang ke Maluku adalah bangsa Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri bermusuhan dengan Portugis. Karena itu kehadiran Spanyol di Maluku, maka ia bersekutu dengan Tidore.
Akibat persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis.
Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai akibatnya Paus turun tangan untuk membantu menyelesaikan pertikaian tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter Caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan suatu dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis perbatasan dunia yang disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga menetapkan sebuah garis baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis tersebut membagi dunia menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara garis Saragosa merupakan kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah kekuasaan Portugis.
Dengan adanya perjanjian Saragosa tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina.Sebagai akibat dari perjanjian Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku.
Tindakan sewenang-wenang Portugis menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis. Perlawanan terhadap Portugis pertama kali dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan benteng pertahanan Portugis dapat dikepung. Dalam keadaan terjepit tersebut, Portugis menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan siasat Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka rakyat Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan terhadap Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575. Perlawanan ini lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah dapat menguasai benteng Portugis.
Keberhasilan Sultan Baabullah merebut benteng Sao Paolo mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan demikian, Sultan Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa pemerintahannya tahun 1570-1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena daerah kekuasaannya meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan “Tuan dari 72 Pulau”.
B. Kehidupan Ekonomi
Secara geografi kerajaan Ternate dan Tidore berkembang sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh keadaan kepulauan Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama komoditi perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu.
Dengan andalan rempah-rempah tersebut maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang datang langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan di tempat lain. Dengan kondisi tersebut, maka perdagangan di Maluku semakin ramai dan hal ini tentunya mendatangkan kemakmuran bagi rakyat Maluku. Tetapi setelah adanya monopoli perdagangan oleh Portugis maka perdagangan menjadi tidak lancar dan menimbulkan kesengsaraan rakyat di Maluku.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Dengan berkembangnya Islam di Maluku maka banyak rakyat Maluku yang memeluk agama Islam terutama penduduk yang tinggal di tepi pantai, sedangkan di daerah pedalaman masih banyak yang menganut Animisme dan Dinamisme. Dengan kehadiran Portugis di Maluku, menyebabkan agama Katholik juga tersebar di Maluku. Dengan demikian rakyat Maluku memiliki keanekaragaman agama.
Perbedaan agama tersebut dimanfaatkan oleh Portugis untuk memancing pertentangan antara pemeluk agama. Dan apabila pertentangan sudah terjadi maka pertentangan tersebut diperuncing oleh campur tangan orang-orang Portugis. Dalam bidang kebudayaan yang merupakan peninggalan kerajaan Ternate dan Tidore terlihat dari seni bangunan berupa bangunan Masjid dan Istana Raja dan lain-lain.[28]
E. Peranan Walisongo dalam Penyebaran Islam di Indonesia.
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa adalah walisongo. Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat intregrasinya. Para wali songo dalam menyiarkan islam menggunakan tradisi local sebagaimana yang berlaku di masyarakat dari pada menentang/merombaknya. Melalui tradisi inilah, mereka memasukkan nilai-nilai ajaran agama. Ternyata dengan cara yang demikian, dalam waktu yang tidak lama agama islam telah terkenal dan di terima oleh masyarakat. Dampaknya,syariat islam yang di perkenalkan di masyarakat adalah syariat yang sedikit banyak telah di padukan dengan tradisi local yakni tradisi yang berlaku di masyarakat. Untuk itu, para penyiar islam berusaha mewarnai dengan ajaran islam, sehingga betul-betul menjadi tradisi islami.
Adapun nama-nama dan sebutan serta peranan Walisongo dalam penyebaran agama islam adalah sebagai berikut:
1) Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Dikalangan rakyat kecil Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal. Sunan Gresik menjelaskan bahwa “Dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya disisi Allah.” Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh. Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
2) Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak. Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain. Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun para wali yang lain menasehati, karena tidak bias semua dihilangkan secara bersama. Terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Beliau wafat pada tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.
3) Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Beliau dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan itu dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.
4) Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunana Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer. Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya daam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri atau bersama muridnya waktu muda melalui berdagang. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.
5) Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir pada tahun 1450. Nama lain dari Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim mendirikan surau dan pesantren. Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa memaksa. Dalam penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat pengajian secara langsung dimasjid atau di anggar. Kedua melalui pendidikan di pesantren. Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat melalui kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam beliau mengguanalkan kebudayaan dalam berdakwah, salah satu tembang ciptaan beliau adalah tembang Mijil.
Sunan Drajat juga terkenal dengan ajaran yang mengatakan, “paring teken marang kang kalunyon lan wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan memberi payung kepada orang yang kehujanan)”.
6) Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum dan diusir. Dia bertemu dengan Sunan Bonang. Kemudian diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga. Sunan kalijaga menggunakan kesenian wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Sunan Kalijaga tidak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
7) Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al- ‘ilm (wali yang luas ilmunya). Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil. Cara-cara berdakwah Sunan Kudus:
a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan: membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah, menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam, tut Wuri Handayani, bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c. Merangkul masyarakat Budha Setelah masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
d. Selamatan Mitoni Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.
8) Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang telah dilakukan dengan sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik Jawa (gamelan). Menyebarkan di masyarakat yang bertempat tinggal di pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya. Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Oleh karena itu, Sunan Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria.
9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah. cerita yang termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri Cina bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara Semanding. Sunan Gunung Jati memang mempunyai hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka menjalin hubungan baik tersebut, pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan bertemu dengan kaisar Hong Gie, serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho, dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk agama Islam. Disini Sunan Gunungjati membuka praktek pengobatan, dan banyak masyarakat Cina yang berobat kepadanya. Kesempatan ini digunakan sebaik- baiknya oleh beliau untuk berdakwah. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470
Kembali ke Jawa Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Sunan Gunungjati membangun masjid pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang Ciptarasa.[29]
F. Bentuk-bentuk Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Pada pertengahan abad ke-14, tepatnya tahun 1345 M (746 H), Ibn Batutah, seorang cendekiawan asal Maroko, mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke Cina. Saat itu Samudera Pasai dipimpin oleh Sultan Malik al- Zahir, putera Sultan Malik al-Shaleh. Batutah menyatakan bahwa Islam telah disiarkan selama hampir seabad. Ia juga menceritakan tentang kesalehan, rendah hati, dan semangat keagamaan rajanya, seperti rakyatnya yang mengikuti madzhab syafi’i. Walaupun ada mazhab yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia, ternyata ada juga sebagian masyarakat yang masih terpengaruh oleh adat istiadat daerahnya sendiri. Misalnya pada masyarakat Lombok ada sembahyang yang dinamakan waktu telu, yaitu melakukan sembahyang tiga kali dalam sehari. Ada juga adat bahwa tidak seorangpun perempuan dapat mewarisi tanah, padahal dalam Islam tidak ada aturan yang mengecualikan perempuan seperti adat ini. Tentu saja adat tersebut bertentangan ajaran-ajaran muslim lainnya.
Perbedaan ini dipicu oleh adanya adat istiadat yang berbeda di masing-masing daerah. Misalnya juga dalam adat Makuta Alam dari zaman Iskandar Muda di Aceh, disebutkan tentang kurnia sultan pada hari sebelum puasa kepada uleebalang po-teu (uleebalang yang tidak berwilayah). Kalau sholat hari raya idul fitri dan idul adha harus dihadiri oleh sultan.
Di daerah mataram ketika malam hari raya, bedug dipukul berkali-kali sebagai tanda datangnya hari raya, dan mendekati hari raya orang-orang sibuk menyiapkan pakaian baru, sehingga seolah-olah semua orang menjadi tukang jahit. Demikian halnya ketika orang ingin menunaikan ibadah haji, maka mereka harus menyiapkan sesuatu untuk keberangkatan dan menyisihkan sebagian harta untuk keluarga yang ditinggal dirumah. Hal itu merupakan bukti akan semangat beragama umat Islam.[30]
Untuk lebih jelasnya berikut ini dijelaskan wujud akulturasi kebudayaan yang telah berkembang di nusantara dan kebudayaan Islam.
1. Batu Nisan
Di Pasai masih dijumpai batu nisan makam Sultan Malik as-Saleh yang wafat tahun 1292.[31] Batu nisan berupa batu pualam putih yang terukir tulisan arab berisikan ayat al-Quran dan keterangan yang meninggal. Dijumpai pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa. Nisan didatangkan dari Gujarat, awalnya berbentuk lunas (bentuk badan kapal terbalik). Seiring pengaruh kebudayaan setempat, bentuknya berkembang seperti bentuk teratai, keris, atau gunungan pewayangan.[32]
2. Seni Rupa
Tradisi Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang menghias Masjid, makam Islam berupa suluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat keserasian. Ukiran ataupun hiasan ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura atau pada pintu dan tiang.[33]
Seni bangun, ada 2 corak yaitu baru dan lama. Yang corak lama masih meniru seni bangun Hindu-Budha, antara lain: atapnya tumpang atau bersusun ganjil, tidak ada menara menggunakan bedug untuk pemberitahuan waktu shalat, masjid-masjid tua yang terdapat makam didalam maupun disekitar masjid. Untuk corak baru, atapnya masih bertumpang namun yang terakhir diganti kubah. Dengan kubah setengah lingkaran ditopang pilar-pilar tinggi basar dan terdapat kusen-kusen runcing.[34]
3. Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh Hindu-Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat pengaruh Persia.
Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan/aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman Hindu.
Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan bebas atau prosa). Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi (Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang membentangkan soal-soal tasawwuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan, keajaiban dan penentuan hari baik/buruk. Bentuk seni sastra tersebut di atas, banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.[35]
4. Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan sebagainya.
Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi dimakamkan dicandi/ dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.[36]
5. Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78 M. Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing, pon, wage dan kliwon.
Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan (qomariah) seperti tahun Hijriah (Islam).
Pada kalender Jawa, Sultan Agung melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro, Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari sesuai dengan bahasa Arab, dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa, atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.[37]
III
PENUTUP
A. Simpulan
Agama Islam bukan agama pertama yang masuk ke Indonesia , ada agama dan kepercayaan yang lebih dulu masuk ke Indonesia. Saluran-saluran dalam penyebaran Islam di Indonesia, yaitu perdagangan, dakwah, perkwinan, pendidikan, tasawuf, kesenian, dan politik. Berbagai pendapat ataupun teori yang muncul dari masuknya agama Islam ke Indonesia, antara lain: teori Gujarat, teori Makkah, dan teori Persia. Perkembangan agama Islam di Indonesia sangatlah cepat yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antaralain: faktor agama, faktor politik, dan faktor ekonomi.
Selain itu, agama Islam juga disalurkan dan disebar luaskan melalui beberapa kerajaan Islam yang ada di Indonesia. Kerajaan yang ada meliputi pulau Jawa, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan Sumatera. Kerajaannya antaralain kerajaan Perlak, kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Demak, kerajaan Banten, kerajaan Mataram, kerajaan Gowa-Talo, dan kerajaan Ternate-Tidore.
Perkembangan agama Islam di Indonesia tidak lepas dengan adanya peran dari para walisongo, yaitu sunan Gresik, Sunan Ampel, sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.
Agama Islam memberikan banyak pengaruh terhadap Indonesia, sehingga menghasilkan akulturasi dari agama Islam dengan kebiasaan atau adat istidat dan kebjudayaanyang sudah ada sebelum agam Islam masuk ke Indonesia. Perwujudan akulturasi kebudayaan, antara lain: batu nisan, seni rupa (seni ukir dan seni bangun), aksara dan seni sastra, dalam system pemerintahan, dan system kalender.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Munir, Samsul. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Cetakan ke-3. Jakarta: Amzah.
Amin, Munir, Samsul. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. , dalam Manarul Qur’an, Jurnal Ilmiah Studi Islam Universitas Sains Alquran (UNSIQ) Wonosobo. Edisi Juli 2002.
Anshari, Saifuddin, Endang. 1990. Wawasan Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Azra, Azyumardi. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Faruqi, Ahmed, Nisar. 1979. Early Muslim Historiography. Delhi : Idarah Adabiyati.
Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang.
https://alvinmod.wordpress.com/2015/05/17/peran-walisongo-dalammempengaruhi-budaya-nusantara/, (diakses, hari: senin, 11 april 2015, jam: 04.53).
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mansyuri, Arif, dkk. 2009. Ilmu Pengetahuan Sosial 2. Surabaya: LAPIS-PGMI.
Susanto, Musyrifah. 2012. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Tjandrasasmita, Uka (Ed.). 1976. Sejarah Nasional III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yatim, Badri. 2011 Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: Rajawali Pers.
[1] Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, Delhi : Idarah Adabiyati, 1979, hlm. 3.
[2] Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 14-15.
[3] Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hlm. 253.
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. , dalam Manarul Qur’an, Jurnal Ilmiah Studi Islam Universitas Sains Alquran (UNSIQ) Wonosobo, Edisi Juli 2002, hlm. 14.
[5] Uka Tjandrasasmita, (Ed.), Sejarah Nasional III, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976, hlm. 86
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm 9-10.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II), Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 203-204.
[8] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 34.
[9] Arif Mansyuri, dkk, Ilmu Pengetahuan Sosial 2, Surabaya: LAPIS-PGMI, 2009, hlm. 9.
[10] Ibid., hlm. 9-10.
[11] Ibid.
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Cetakan ke-3, Jakarta: Amzah, 2013, hlm. 316-317.
[13] Ibid., hlm. 318.
[14] Ibid.
[15] Ibid. hlm. 319.
[16] Ibid., hlm. 331.
[17] Ibid., hlm. 332.
[18] Ibid.
[19] Arif Mansyuri, dkk, op. Cit., hlm. 15.
[20] Ibid.
[21] Samsul Munir Amin, op. Cit., hlm. 332-333.
[22] Arif Mansyuri, dkk, op. cit., hlm. 16.
[23] Ibid., hlm. 17.
[24] Ibid., hlm. 17-19.
[26] Ibid., hlm. 23-26.
[27] Ibid., hlm. 29.
[29] https://alvinmod.wordpress.com/2015/05/17/peran-walisongo-dalam-mempengaruhi-budaya
nusantara/ , (diakses, hari: senin, 11 april 2015, jam: 04.53,).
[30] Arif Mansyuri, dkk., op. cit,. hlm. 33.
[33] Arif Mansyuri, dkk, op. cit., hlm. 35.
[35] Ibid., hlm. 35-36.
[36] Ibid., hlm. 36.
[37] Ibid.
Komentar
Posting Komentar