Makalah "Pendidikan Menurut Eksistensialisme"

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan
Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia yang mencakup pengetahuannya, nilai dan sikapnya. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1] Berikut adalah pendidikan menurut para ahli:
1.      Henderson, pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, yang berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.[2]
2.      Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah suatu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
3.      Mortimer J. Adler, pendidikan adalah proses dengan mana semua kemampuan manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapa pun untuk membentuk orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
4.      Soegarda Poerwakawatja, pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan dan keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkan generasi muda agar dapat memahami fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani.

B.     Eksistensialisme
Istilah Eksistensialisme pertarna kali dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman yaitu Martin Heidegger pada tahun 1889-1976. Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel pada tahun 1859-1938. Munculnya eksistensialisme berawal dari filsafat Kiekegaard dan Neitchze. Kiekegaard yang merupakan tokoh pembuka tabir gerakan eksistensialisme yang diwarnai dengan corak pemikirannya dengan teologi. Nuansa teologinya muncul ketika ia mengatakan bahwa setiap pribadi membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya.[3]
Kiekegaard filsafat Jerman dalam filsafatnya untuk menjawab pertanyaan "bagaimana aku menjadi seorang individu? apa itu kehidupan manusia?, apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaiman kita menyatakan keberadapan manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang kongret terhadap persoalan arti "berada" mengenai manusia. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis eksistensial (manusia melupakan individualisnya). Sedangkan menurut Neitchze filusuf Jerman tujuan filsafatnya adalah untuk menjawap pertanyaan "bagaimana caranya menjadi manusia yang unggul" jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani. Tokoh-tokoh lainnya yang terkenal diantaranya Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril Marsel, Paul Tillich.
Menurut Heideggard eksistensi barasal dari kata "Das wesen das desains liegh in seiner Existentz" kata da-sein tersusun dari dad an sain. Kata "da" yang berarti disana, dan kata"sein" berarti berada. Yang berarti manusia sadar dengan tempatnya. Sedangkan menurut Parkay aliran eksistensialisme terbagi menjadi dua yaitu bersifat theistik (bertuhan) dan atheis. Dalam aliran eksistensialisme ada dua jenis filsafat trad;sional yaitu filsafat spekulatif (yang menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada individu, dan filsafat skeptif (yang menyatakan bahwa semua pengalaman adalah palsu tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita, menurut mereka metafisika adalah sementara). Dari pemyataan diatas eksistensialisme merupakan yang secara khusus mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi (cara manusia berada).
Menurut Callahan filsafat pendidikan Eksistensialisme berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri. Jadi dari uraian diatas eksistensialisme adalah aliran yang berpendirian (pada umumnya) bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia yang kongrit, yaitu manusia sebagai eksistensi itu mendahului essensi.
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiyah. Eksistensialisme menolak bentuk kernutlakan rasional.[4]
Eksistensialisme juga merupakan suatu reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, dan manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Sedangkan pandangan manusia menurut idealisme manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistensialisme beryakinan bahwa paparan manusia harus dipangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang kongrit.
Paham eksistensisialisme bukan hanya satu, melainkan terdiri dari berbagai pandangan yang berbeda-beda. Namun demikian, pandangan- pandangan tersebut memiliki beberapa persamaan sehingga mereka dapat dikatakan filsafat eksistensialisme. Persamaan-persamaan tersebut dikemukakan oleh Harun Hadiwijono sebagai berikut:
a.       Motif pokok ialah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara khas manusia berada.
b.      Bereksistensi harus diartikan secara dinamis.
c.       Dalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka
d.      Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang kongret, pengalaman yang eksistensial.
Berbicara tentang nilai, eksistensialisme menekankan kebebasan terhadap tindakan. Tetapi seseorang harus mampu menciptakan tujuannya. Apabila seseorang menerima tujuan kelompok, ia harus menjadikan tujuan tersebut menjadi miliknya. Dengan ketentuan bahwa setiap situasi tujuan tersebut merupakan tujuan yang harus dicapai. Jadi tujuan itu diperoleh dalam situasi. Dari sekian banyak pengertian diatas garis besar aliran eksistensialisme ini berkeyakinan bahwa segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, kenyakinan yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasaan jalan untuk mencapai keinginan hidupnya. Titik sentralnya manusia itu sendiri. Prinsip-prinsip Aliran Filsafat Eksistensialisme adalah sebagai berikut:
a.       Aliran ini tidak mementingkan metafisika.
b.      Kebenaran lebih bersifat eksistensial daripada proporsional atau faktual.
c.       Aliran ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya mengenai dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dalam kehidupan.
d.      Jiwa aliran ini mengutamakan manusia, memperkembangkan eksistensi pribadinya atas alasan bahwa manusia akan mati.[5]
Dalam aliran filsafat Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri utama antara lain sebagai berikut:
a.       Penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu.
b.      Tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama)
c.       Sangat tidak puas dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
Berikut ini adalah tokoh-tokoh dalam aliran Filsafat Eksistensialisme:
a.       Gabriel Marcel (1889 – 1978)
Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan objektivitas dan tidak pernah dapat dijadikan objektivitas. Yang khas bagi eksistensi adalah saya (sebagai subjek) tidak menyadari situasi saya itu. Artinya, saya tidak menginsyafi apa artinya eksistensi saya itu dalam dunia ini.
b.      Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Titik tolak filsafat tidak bisa lain, kecuali cogito (kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri). Hal ini dirumuskan oleh Sartre demikian: Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri ini tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya. Cogito bukanlah pengenalan diri melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis. Jadi ada perbedaan antara kesadaran tematis (kesadaran akan sesuatu) dan kesadaran non-tematis (kesadaran akan dirinya). Kesadaran akan dirinya membonceng pada kesadaran akan dunia. Jadi kesadaran atau cogito ini menunjuk pada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadirian (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya ini merupakan syarat yang perlu dan mencukupi untuk kesadaran. Kita tidak perlu membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut sebagaimana diajarkan idealisme.
c.       Kiekegaard.
Menurut Kiekegaard Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan irasioanl. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidun yang dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah  yang ia alami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Atas pandangan sikap di kalangan kaum eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom do  adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap perbuatannya.[6]

C.    Implementasi Aliran Filsafat Eksistensialisme terhadap Pendidikan
Pandangan tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris dalamExistensialisme and Education, bahwa "Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk" oleh sebab itu eksistensialisme dalam hat ini menolak bentuk-bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.[7]
Menurut eksistensialisme, pengetahuan kita tergantung kepada interprestasi tentang realitas. Pengetahuan yang diberikan di sekolah bukan merupakan alat untuk memperoleh pekedaan atau karier anak, melainkan pengetahuan itu dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri ini merupakan teori pengetahuan dan kebenaran eksistensialisme yang dikemukakan oleh Kneller.
Implementasi aliran eksistensialisme tehadap pendidikan antara lain sebagai berikut:
a.       Aliran ini mengutamakan perorangan/ individu.
b.      Memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya.
c.       Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalannya.
d.      Aliran ini memabatasi murid-murinya dengan buku-buku yang ditetapkan saja.[8]
e.       Aliran ini tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.[9]
Sedangkan pandangan dalam filsafat islam antara lain sebagai berikut:
a.         Dalam bidang pendidikan eksistensialisme menekankan agar masing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maksimal tanpa adabatas (mutlak).
b.         Prinsip kebebasan islam justru mengantarkan manusia dekat dengan tuhan.
c.         Manusia tidak meminta tolong pada dirinya sendiri saja tetapi juga dengan kekuasaan Allah.
d.        Kebebasan yang diberikan Islam pada manusia bukan kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang tetap pada koridor illahi dan dipimpin oleh kebenan nilai-nilai agama.
e.         Sebagai hamba Allah, manusia dituntut untuk selalu mengarahkan aktivitas kehidupannya pada pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai kholifah Allah Fil Ardh.[10]

D.    Konsep Aliran Flsafat Pendidikan Eksistensialisme dan Implikasinya terhadap Tujuan dalam Pendidikan
Eksistensialisme menjadi tonggak penting perkembangan pendidikan. Manusia adalah subjek bagi kehidupan, maka tidak boleh direduksi menjadi sekrup dalam mesin ilmu pengetahuan dan teknologi. Eksistensialisme memberikan pencerahan bahwa pendidikan tidak semestinya membelenggu manusia.
Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi bahwa hal yang ada kesejalanan dengan acuan filosofis strategi Pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional perlu memiliki karakteristik, yaitu:
a.       Mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan dan peradaban.
b.      Mendukung dimenasi nilai keunggulan.
c.       Mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagaman.
d.      Mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.
Uyoh Sadulloh mengutarakan implikasi pendidikan pada filsafat Ektensialisme terhadap pendidikan, yaitu:
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivisu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
2.      Kurikulum Pendidikan
Kaum eksistensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata  pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran materi dimana individu  akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memnuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat dan seni.[11]
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan intropeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didororng untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.
3.      Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya. Guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
4.      Peranan Guru
Menurut pemikiran eksistensialisme, guru hendaknya memberi semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa kan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti lain, guru tidak mengarahkan dan tidak memberi instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran.[12]
Power, mengemukakan beberapa implikasi filsafat pendidikan eksistensialisme sebgai berikut:
1.      Tujuan pendidikan
Memberi bekal pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
2.      Status siswa
Makhluk rasional dengan pilihan bebas dan tanggung jawab atas pilihannya. Suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan pribadi.
3.      Kurikulum
Yang diutamakan adalah kurikuluum liberal. Kurikulum liberal merupakan landasan bagi kebebasan manusia. Kebebasan memiliki aturan-aturan. Oleh karena itu, di sekolah diajarkan pendidikan sosial untuk mengajarkan respect (rasa hormat) terhadap kebebasan untuk semua.
4.      Peranan guru
Melindungi dan memelihara kebebasan akademik, dimana mungkin guru pada hari ini, besok lusa mungkin menjadi murid.
5.      Metode
Tidak ada pemikiran yang mendalam tentang metode, tetapi metode apapun yang dipakai harus merujuk pada cara untuk mencapai kebahagiaan dan karakter yang baik.[13]
Dalam referensi lain pandangan eksistensialisme tentang teori pendidikan yaitu tujuan pendidikan adalah siswa mengembangkan potensinya masing-masing untuk mencari jati dirinya.[14] Selain itu juga filsafat eksistensi dalam Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri.
Inti dari ajaran aliran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului essensi kita masing-masing. Kaum eksistensi menolak filsafat-filsafat tradisional dan menolak eksistensi keberadaan ihwal metafisika, epistimologi, dan etika. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu benar, salah, indah, jelek. Pendidikan seyogyanya menekankan refleksi personal yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia adalah essensi dirinya. Kaum eksistensialisme menganjurkan bahwa pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai pembangun nalar.[15]
Dari uraian di atas saya menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri serta mengembangkan kemampuan peserta didik yang mencakup pengetahuan (kognitif) sikap, (efektif) keterampilan (skill) perilaku hasil tindakan, serta pengalaman exploratis (pengalaman lapangan). Sedangkan filsafat eksistensialisme merupakan suatu filsafat yang mendesripsikan bahwa Individualisme adalah pilar central dalam filsafat ini. Jadi implikasi pendidikan pada filsafat Ektensialisme terhadap tujuan Pendidikan adalah memberikan pengalaman yang luas dan komprehensif dalam semua bentuk kehidupan dalam hal ini setiap individu mempunyai eksistensi untuk dirinya supaya mengembangkan potensi dalam dirinya.





[1]     Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[2]     Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003, hal. 55.
[3]     Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hal. 28.
[4]     Basuki As'adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pindidikan, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010, hal. 29.
[5]     Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 30.
[6]     Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, hal.30- 31.
[7]     Basuki As'adi dan Miftakul Ulum, Op. Cit., hal. 29-30.
[8]     Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 31.
[9]     Zuhairini, Op. Cit., hal. 31.
[10]    Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 32.
[11]    Uyoh Sadulloh, Op. Cit., hal. 137.
[12] Ibid., hal. 138-140.
[13]    Ibid., hal. 140-141.
[14]    Basuki As'adi dan Miftahul Ulum, Pengantar Filsafat Pindidikan, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2010, hal. 47.
[15]    Chaedar Al-Wasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, hal. 106.

Komentar

Postingan Populer