Makalah "Kecerdasan Emosional"

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dulu, semua orang beranggapan bahwa anak yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ tinggi. Namun kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi kesuksesan mereka di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar mengajar di sekolah, siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Tetapi, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, ia bisa meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang.  Ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ).[1]
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik, cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik. Sehingga dia akan mampu menyeleseikan seluruh beban akademisnya tanpa stress yang berlebihan. Lebih lanjut, Kecerdasan emosional juga  menjadikan anak memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan yang mungkin dihadapinya.
Menurut Goleman, kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor-faktor kekuatan lain di antaranya adalah kecerdasan emosional (EQ). Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah.[2]
Melihat pentingnya kecerdasan emosional bagi peserta didik, maka penulis akan membahas mengenai kecerdasan emosional dalam makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian kecerdasan emosional?
2.         Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional?
3.         Bagaimana langkah-langkah pengembangan kecerdasan emosional dalam pembelajaran di kelas?

C.      Tujuan
1.         Mengetahui pengertian kecerdasan emosional.
2.         Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional.
3.    Mengetahui langkah-langkah pengembangan kecerdasan emosional dalam pembelajaran di kelas.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Kecerdasan Emosional
Dalam kehidupan sehari-hari, emosi sering diistilahkan juga dengan perasaan. Misalnya, seorang siswa mengatakan hari ini ia merasa senang karena dapat mengerjakan semua pekerjaan rumah (PR) dengan baik. Siswa dan siswi lain mengatakan bahwa ia takut menghadapi ujian. Senang dan takut berkenaan dengan perasaan, kendati dengan makna yang berbeda. Senang termasuk perasaan sedangkan takut termasuk emosi. Perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang dan tertutup karena tidak banyak melibatkan aspek fisik, sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang dinamis dan terbuka karena melibatkan ekspresi fisik.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara keduanya tidak dapat dinyatakan dengan logis. Emosi dan perasaan merupakan gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasannya. Pada suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi. Contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi itu adalah sebagai berikut:
“ An emotion is affective experience that accimpanies generalized inner adjusment and mental and physiological stirred-up states inthe individual, and that shows it sel in his overt behavior”.
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dari dalam individutentang keadaan mental dan fisik berwujud suatu tingkah laku yang tampak. [3]
Dalam referensi lain, emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well-being dirinya.[4]
Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik sesorang, seperti:
a.         Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona.
b.         Peredaran darah bertambah cepat bila marah.
c.         Denyut jantung bertambah cepat bila terkejut.
d.        Bernafas panjang bila kecewa.
e.         Pupil mata membesar bila marah.
f.          Air liur mengering bila takut atau tegang.
g.         Bulu roma berdiri kalau takut.
h.         Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalu tegang.
i.           Otot menjadi tegang atau bergetar (tremor).
j.           Komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih aktif.[5]
Menurut english and english emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activies” suatu keadaan atau perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris. Sedangkan Sarlito wirawan sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan “setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupunpada tingkat yang luas (mendalam).
Emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau perilaku individu. Yang dimaksud warna afektif adalah perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu sitasai tertentu. Contohnya gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci (tidak senang) dan sebagainya. Dibawah ini ada beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap prilaku individu diantaranya sebagai berikut:
a.         Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
b.     Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
c.         Menghambat atau mengganggu kosentrasi belajar, apabila mengalami ketegangan emosi dan dapat menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
d.        Terganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
e.         Suasana emosional yang diterima dan dialami individu sesama kecilnya akan mempengaruhi sikap dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Emosi sebagai suatu peristiwa psikologis mengandung ciri-ciri sebagai berikut:
a.   Lebih bersikap subjektif dari pada peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir.
b.         Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
c.         Banyak bersangkut paut peristiwa pengenalan panca indra.[6]
Dalam khazanah disiplin ilmu pengetahuan, terutama psikologi, istilah “kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence), merupakan sebuah istilah yang relatif baru. Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman berdasarkan hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian neurolog dan psikolog tersebut, maka Goleman berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang popular dengan sebutan “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi.[7]
Salovey dan Mayer (1990), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.[8]
Menurut Dwi Sunar P. (2010), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.[9]
Menurut Goleman, kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga dalam bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.
Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu: (1) mengenali emosi, (2) mengelola emosi, (3) motivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan.
Mengenali emosi diri-kesadaran  diri (knowing one’s emotions self-awareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.Mengelola emosi (managing emotions), yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi.
Motivasi diri (motivating oneself), yaitu menggunakan hasrat paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang.
Mengenali emosi orang lain (recognizing emotions in other) empati, yaitu kemampuanuntuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat.
Membina hubungan (handling relationship), yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika behubungan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
Memperhatikan kelima komponen kecerdasan emosi di atas, dapat dipahami bahwa kecerdasan emosi sangat dibutuhkan oleh manusia dalam rangka mencapai kesuksesan, baik di bidang akademis, karir maupun dalam kehidupan sosial.[10]
Berdasarkan definisi kecerdasan emosional menurut para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

B.       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Goleman (1997) menjelaskan ada beberapa faktor kecerdasan emosional individu yaitu:
a.         Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak di kemudian hari.
b.       Lingkungan non keluarga, hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalm suatu aktivita bermain sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain.
Menurut Le Dove (Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
a.  Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2) System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
b.       Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
Menurut Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial dan keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan reaksiemosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja , diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif. [11]
Menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
a.       Faktor Psikologis
          Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional.Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.
b.      Faktor Pelatihan Emosi
          Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunahSenin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c.       Faktor Pendidikan
          Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.[12]

C.      Langkah-langkah Pengembangan Kecerdasan Emosional dalam Pembelajaran di Kelas
Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru berusia lima tahun, dan sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia sembilan tahun. Oleh karena itu, orang tua dalam hal ini harus menjadi pelatih yang efektif bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak yang dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional. Proses tersebut terjadi dalam lima langkah:
1.  Menyadari emosi anaknya, yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus menyadari emosi-emosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-anak mereka.[13] Orang tua yang awas dapat mengenali isyarat-isyarat malapetaka emosional pada anak-anak mereka, isyarat-isyarat itu muncul dalam tingkah laku seperti makan terlalu banyak, hilangnya nafsu makan, mimpi buruk, dan keluhan pusing-pusing atau sakit perut.
2.  Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar, yaitu mengakui emosi anak dan menolong mereka mempelajari keterampilan-keterampilan untuk menghibur diri mereka sendiri.[14]
3. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut, yaitu mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik emosi pada anak. Orang tua menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi tersebut dari titik pandang anak kemudian menggunakan kata-kata mereka untuk merumuskan kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam untuk menolong anak-anak mereka memberi nama emosi-emosi mereka itu.[15]
4. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya, langkah ini merupakan langkah yang gampang dan sangat penting dalam pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit hati, marah, sedih dan takut. Menyediakan kata-kata dengan cara ini dapat menolong anak-anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan, dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang mempunyai batas-batas dan merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Studi-studi memperlihatkan bahwa tindakan memberi nama emosi itu dapat berefek menentramkan terhadap sistem saraf, dengan membantu anak-anak untuk pulih kembali lebih cepat dari peristiwa-peristiwa yang merisaukan.
5.    Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi, proses ini memiliki beberapa tahap: (1) menentukan batas-batas terhadap tingkah laku yang tidak pada tempatnya, (2) menentukan sasaran, (3) memikirkan pemecahan yang mungkin, (4) mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan nilai-nilai keluarga, dan (5)  menolong anak memilih satu pemecahan.[16]
Selain terjadi dalam lingkungan keluarga, pendidikan emosi bisa diupayakan di lingkungan sekolah. Sekolah harus menyertakan keterampilan emosional di dalam kurikulumnya, misalnya pelajaran untuk bekerja sama. Di Amerika, keterampilan emosional ini disebut “Self Science”.
Self Science adalah perintis gagasan yang saat ini (pada tahun 1996, yakni tahun penulisan buku Emotional Intellegence oleh Goleman) menyebar di sekolah-sekolah dari pantai timur sampai pantai barat Amerika Serikat. Nama dari pelajaran semacam ini beragam mulai dari social development (pengembangan sosial), life skill (keterampilan hidup), sampai social and emotional learning (pembelajaran sosial dan emosi). Benang merahnya adalah sasaran untuk meningkatkan kadar keterampilan emosional dan sosial pada anak sebagai bagian dari pendidikan reguler mereka.[17]
Untuk meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik, maka dibutuhkan kiat-kiat sebagai berikut:
1.    Mengenali Emosi Diri
   Keterampilan ini meliputi kemampuan anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian.
2.  Melepaskan Emosi Negatif
    Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan anda untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.
3.      Mengelola Emosi Diri Sendiri
       Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai kesuksesan. Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda. Kedua, berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4.      Memotivasi Diri Sendiri
     Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
    Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5.      Mengenali Emosi Orang Lain
     Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
6.      Mengelola Emosi Orang Lain
   Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.
     Keterampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
7.      Memotivasi Orang Lain
   Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan handal.[18]




III
PENUTUP

A.    Simpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai kecerdasan emosional, maka dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu faktor lingkungan keluarga dan non keluarga, faktor fisik, faktor psikis, faktor psikolgis, pelatihan emosi dan pendidikan.
3.      Langkah-langkah peningkatan kecerdasan emosinal yang bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan emosional, sebagai berikut:
1)      Menyadari emosi anaknya.
2)      Mengakui itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar.
3)      Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut.
4)      Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya.
5)      Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi.



DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fatimah, Enung. 2006. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung: Pustaka Setia.
Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John & Joan de Claire. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Terj. T. Harmaya. Jakarta: Gramedia.
Hastuti, Wiwik Dwi, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Surabaya: LAPIS- PGMI.
Kyu, Oyi. 2013. Makalah: Kecerdasan Emosi (diakses dari http://oyikyu.blogspot.co.id/2013/07/makalah-kecerdasan-emosi_9928.html pada tanggal 17 September 2016).
Mabruria, Arni. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi (diakses dari http://arnimabruria.blogspot.in/2012/08/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html#more pada tanggal 14 September 2016).
Saefullah, Uyoh. 2012.  Psikologi Perkembangan dan Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Terj. Penerbit Erlangga. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sunar P., Dwi. 2010. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ. Jogjakarta: Flash Books.
Yusuf LN, Syamsu. 2005.  Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

                                                                     




[1]  Saefullah, Uyoh,  Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012, hal. 166.
[2] Loc .Cit.
[3] Hastuti, Wiwik Dwi, dkk,  Perkembangan Peserta Didik, Surabaya: LAPIS- PGMI, 2008, hal. 10-11.
[4] Santrock, John W., Perkembangan Anak, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hal. 6-7.
[5] Fatimah, Enung,  Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik), Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal . 105.
[6] Yusuf LN, Syamsu,  Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 114.
[7] Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, hal. 170.
[8] Sunar P., Dwi, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ, Jogjakarta: Flash Books, 2010, hal. 132.
[9] Ibid., hal. 129.
[10] Desmita, Op. Cit., hal. 170-172.
[11] Mabruria, Arni, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi (diakses dari http://arnimabruria.blogspot.in/2012/08/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html#more pada tanggal 14 September 2016).
[12]Kyu, Oyi, 2013, Makalah: Kecerdasan Emosi (diakses dari http://oyikyu.blogspot.co.id/2013/07/makalah-kecerdasan-emosi_9928.html pada tanggal 17 September 2016).
[13] Gottman, John dan Joan de Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, Terj. T. Harmaya, Jakarta: Gramedia, 1997, hal. 73.
[14] Ibid., hal. 94.
[15] Ibid., hal. 95-96.
[16] Ibid., hal. 101-103.
[17] Goleman, Daniel, 1996, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),
[18] Kyu, Oyi, Op. Cit.

Komentar

Postingan Populer