Makalah tentang Hakikat, Perkembangan Resepsi, dan Manfaat Cerita Anak.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada hakikatnya sastra mengandung berbagai bentuk kisah yang menarik atau merangsang pembaca untuk berbuat sesuatu. Apalagi, jika pembacanya adalah anak-anak yang pada hakikatnya mereka baru berkembang dan menerima segala macam cerita terlepas cerita itu masuk akal atau tidak. Sebagai karya sastra tentulah berusaha menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, mempertahankan, serta menyebarluaskannya termasuk kepada anak-anak. Seperti pada jenis karya sastra pada umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media kepribadian anak, media pendidikan dan hiburan, serta menuntut kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan dan ketrampilan bagi anak.
Salah satu sastra anak adalah cerita anak, yaitu cerita yang pembacanya khusus ditujukan untuk anak. Sesuai dengan sasaran pembacanya, cerita anak dituntut untuk dapat diterima oleh anak dan dapat dipahami dengan baik. Cerita anak merupakan gambaran mengenai kehidupan anak yang imajinatif. Cerita tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra atau cerita untuk anak sengaja dibuat dan disesuaikan untuk anak-anak sebagai pembacanya.
Cerita anak harus menjadi buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dibaca oleh anak-anak. Isi buku tersebut harus sesuai dengan minat dan dunia anak-anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak sehingga melalui cerita anak yang digemari anak-anak maka dapat menanamkan nilai-nilai moral yang baik untuk anak.

     B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat dari cerita anak ?
2.      Bagaimana perkembangan resepsi dari cerita anak ?
3.      Apa manfaat cerita anak ?

     C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui hakikat dari cerita anak
2.      Untuk mengetahui perkembagan resepsi dari cerita anak
3.      Untuk mengetahui manfaat cerita anak



BAB II
PEMBAHASAN

      A.    Hakikat Cerita Anak
Cerita merupakan sarana untuk menyampaikan ide atau pesan melalui serangkaian penataan yang baik dengan tujuan agar pesan lebih mudah untuk diterima.
Bercerita merupakan perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. Dengan demikian, bercerita dalam konteks komunikasi dapat dikatakan sebagai upaya memengaruhi orang lain melalui ucapan dan penuturan tentang sesuatu.
Cerita anak berbeda dengan cerita untuk anak. Cerita anak adalah cerita tentang kehidupan anak, baik suka maupun dukanya dalam keluarga dan masyarakat. Sedangkan cerita untuk anak adalah cerita yang diperuntukkan bagi anak, baik cerita yang menyangkut kehidupan anak maupun cerita tentang binatang, cerita para tokoh yang berjasa bagi bangsanya, cerita tentang alam, dan lain-lain. Kedua cerita ini bermanfaat untuk pendidikan dan pembentukan kepribadian anak. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, cerita anak adalah karangan imajinatif tentang kehidupan anak.
Pada hakikatnya cerita adalah kisah tentang kejadian suatu tempat, kehidupan binatang sebagai perlambang kehidupan manusia, kehidupan manusia dalam masyarakat, dan lain-lain. Cerita pada awalnya disampaikan secara lisan, kemudian berkembang menjadi cetakan berupa buku, kaset, film. Demikian dengan ceritanya, cerita anak ini berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. [1]
Cerita yang baik adalah cerita yang dapat menyampaikan pesan kepada sasarannya. Untuk itu perlu adanya tiga konsep dasar yang jelas. Konsep dasar cerita anak terdiri atas tiga hal utama, yaitu :
             1.      Keterlibatan
Keterlibatan menjadi kunci bagi upaya untuk menarik dan mengikat perhatian anak dalam kegiatan bercerita. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa  adanya perhatian dan keterlibatan tidak mungkin terjadi belajar. Dengan demikian langkah awal dalam merumuskan konsep dasar cerita adalah bahwa cerita itu harus mampu menarik perhatian anak untuk mendukung terjadinya proses belajar.
              2.      Berada dalam dunia anak
Kegiatan bercerita pada hakikatnya adalah komunikasi antara guru dan murid untuk menyajikan materi pelajaran dengan maksud tertentu. Untuk dapat melakukan pengaruh pada anak, perlu dipahami bagaimana cara anak berpikir menurut pandangan psikologis.
3.    Memiliki nilai pesan
Bercerita adalah salah satu cara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran. Bercerita perlu memperhatikan pesan apa yang akan disampaikan. Pesan dalam cerita dapat digunakan sebagai pedoman dalam bercerita, karena pada hakikatnya pesan dalam cerita itulah yang diharapkan dapat disampaikan dan diterima dengan baik oleh sasaran. Salah satu dampak penceritaan adalah “peniruan”, maksudnya bahwa pendengar cenderung mengadopsi dan beradaptasi cerita dengan dirinya. Oleh karena itu, pesan sangat perlu diperhatikan. [2]
 B.      Perkembangan Resepsi Sastra Anak
Sewaktu mendengarkan atau membaca cerita, selama anak telah memahami bahasa yang digunakan, anak akan berusaha menggambarkan realitas yang didengar atau dibacanya sesuai dengan schemata ( struktur mental yang mempengaruhi cara berpikir dan kognisi seseorang) yang ada. Dalam hal demikian, Schemata are not stored in isolation but are connected by intricate networks of association (Mackena dan Robinson, 1997:24). Dengan kata lain, pemahaman terbentuk melalui penghubungan antara sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang baru sejalan dengan rekontruksi yang dilakukan oleh pembaca atau pendengar.
Ketika terjadi penghubungan antara sesuatu yang diketahui dengan sesuatu yang baru, terjadi tanggapan yang bersifat eksploratif. Ketika anak mendengar cerita Joko Kendil yang disampaikan oleh ibunya, misalnya pikiran anak tentu kembali membayangkan sesuatu yang disebut kendil. Seandainya dalam skema anak tidak terdapat pemahaman tentang kendil, maka sebutan Joko Kendil tidak akan bermakna apa-apa. Tetapi, bagi anak yang memiliki pemahaman tentang Kendil, dalam kesadaran batinnya tumbuh eksplorasi berkenaan dengan Kendil yang dihubungkan dengan sosok manusia yang disebut Joko Kendil. Apabila semula belum muncul gambaran mengenai manusia yang kecil, bulat, pendek sebagaimana wujud kendil, setelah mendengar cerita Joko Kendil muncul gambaran baru yang semula tidak ada dalam pembendaharaan pemahamannya.
Ketika muncul berbagai gambaran dan berbagai ragam skema, tidak semuanya dibentuk dan dihubungkan dengan realitas baru yang akan dipahami. Dalam hal ini terjadi proses yang disebut,  “ The Building Blocks of Cognition”. Dalam proses tersebut terjadi pemilihan satuan-satuan skema yang dianggap relevan dengan realitas, peristiwa yang akan dipahami sehingga membuahkan makna dan pemahaman yang baru pula.
Dalam proses pemahaman tersebut terdapat tiga kemungkinan cara pemanfaatan skema, yaitu :
1.    Pendengar atau pembaca memanfaatkan skema untuk menemukan atau memilih gambaran yang relevan dengan realitas yang harus dipahami.
2.    Schema berperan dalam proses pengorganisasian atau rekonstruksi pemahaman sehingga dapat membentuk pengertian-pengertian baru. Dalam hal ini, proses yang perlu dilakukan adalah membangkitkan dan mengingat-ingat kembali pemahaman makna kata, hubungan makna kata, dan lain-lain.
3.    Schema berfungsi dalam proses pemahaman, baik dalam bentuk perbandingan, penilaian atau penghubungan yang diperoleh dengan bentuk-bentuk pemahaman sebelumnya. Pembangkitan schema itu bisa tumbuh berdasarkan mekanisme berpikir anak, bisa juga distimulasi melalui pertanyaan, pemberian kesempatan untuk emnyampaikan pendapat dan sebagainya (Nurgiantoro, 2005).
Berdasarkan uraian diatas, bisa dipahami bahwa intensitas proses yang ditempuh anak berbeda-beda. Salah satu faktor pembeda yang sangat menentukan adalah usia dan tingkat perkembangan siswa. Bertolak dari uraian Cullinan (1989), pembedaan itu  harus diorientasikan pada perbedaan tingkat resepsi estetis anak-anak yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
            1.    Usia 0-2 tahun
Pada usia tersebut anak diibaratkan lembar kertas putih yang terbuka. Pada usia tersebut anak belum mampu berbahasa. Peranan orangtua apabila dihubungkan dengan kegiatan apresiasi sastra adalah pada upaya menumbuhkan kemampuan menanggapi realitas, menggunakan bunyi-bunyi kebahasaan, dan menggerakkan keterampilan motorik anak. Misalnya puk ami-ami belalang kupu-kupu, siang makan nasi kalau malam minum susu.
2.    Usia 2-4 tahun
Pada usia ini, orangtua sudah bisa mulai menyampaikan cerita secara lisan atau membacakan cerita. Sangat baik, apabila cerita yang dibacakan dilengkapi dengan gambar-gambar sehingga selain membacakan, orangtua juga dapat menghubungkan kata atau peristiwa yang dibacakan dengan gambar yang tersaji dalam cerita. Melalui kegiatan ini selain, anak diajari untuk berkenalan dengan dunia nyata mereka juga diajari dalam memahami kosakata.
3.    Usia 5-7 tahun
Pada usia ini, anak sudah mampu membaca. Meskipun demikian, pendampingan orangtua masih sangat diperlukan. Bentuk pendampingan itu sangat diperlukan dalam konteks elaborasi, misalnya dalam bentuk pertanyaan (5W+1H). Pada sisi lain, orangtua juga dapat memancing pendapat dan penialian anak terhadap tokoh, peristiwa maupun perilaku tokoh dalam cerita.
4.    Usia 7-9 tahun
Anak sudah bisa mulai memahami cerita secara episodik karena, anak sudah bisa membuat akumulasi satuan cerita, menyusun rangkaian cerita, memahami hubungan pelaku dengan latar belakang cerita yang berupa tempat maupun waktu. Sewaktu membaca cerita, orangtua diharapkan bisa menjadi pendamping dalam bentuk menanyakan tokoh yang disukai dan tidak disukai, menanyakan alasannya serta meminta pendapat dan tanggapan anak dengan disertai alasan secara logis.
5.    Usia 9-12 tahun
Pada tahap ini, anak sudah mampu memahami makna tersirat. Anak juga sudah bisa membedakan hal yang fantasi dengan kenyataan. Pada tahap ini, anak sudah mulai memiliki perhatian pada cerita fiksi realistik, cerita petualangan maupun cerita misteri.
6.    Usia 12-14 tahun
Anak secara aktif sudah mampu menghubungkan gambaran pelaku dengan keberadaan dirinya sendiri dihubungkan dengan posisinya dalam kehidupan. Pusat perhatian terhadap cerita juga sudah bersifat ganda sehingga anak sudah mampu memahami cerita dalam bentuk novel dan plot ganda.
7.    Usia 14 tahun – ke atas
Pada tahap ini, anak sudah mulai berusaha menemukan identitas diri di tengah kelompok kehidupannya. Bacaan yang menggambarkan hubungan interpersonal, kesetiaan, keberanian, dan berbagai sosok ideal lainnya merupakan bacaan yang menarik perhatian anak.[3]  

       C.    Manfaat Cerita Bagi Anak
Bagi anak-anak, cerita tidak sekedar memberi manfaat emotif tetapi juga membantu pertumbuhan mereka melalui berbagai aspek. Oleh karena itu, perlu diyakini bahwa bercerita merupakan aktivitas penting dalam program pendidikan anak. Ditinjau, dari berbagai aspek, manfaat tersebut meliputi hal-hal berikut ini :
             1.      Membantu pembentukan pribadi dan moral anak
Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak karena, mereka senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang-ulang. Pengulangan, imajinasi anak, dan nilai kedekatan guru atau orangtua membuat cerita menjadi efektif untuk mempengaruhi cara berpikir mereka. 
            2.      Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi
Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang tentang berbagai hal yang selalu muncul dalam pikiran mereka. Masa usia prasekolah dan usia sekolah dasar merupakan masa-masa aktif anak berimajinasi. Anak membutuhkan dongen atau cerita karena berbagai hal. Pertama, anak membangun gambaran-gambaran mental pada saat guru memperdengarkan kata-kata yang melukiskan kejadian. Kedua, anak memperoleh gambaran yang beragam yang sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Ketiga, anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental. Hal ini membantu mereka memberikan respon yang baik saat menghadapi realitas yang sesungguhnya. Keempat, anak akan memperoleh kesempatan menangkap imajinasi dari citraan-citraan mereka. Keenam, anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab akibat. Hal demikian membuat anak lebih meyakini nilai-nilai yang dirangkainya dan cukup mempengaruhi keputusan riil yang dibuat.
3.    Merangsang minat menulis anak
Anak yang gemar membaca dan mendengar akan memiliki kemampuan berbicara, menulis, dan memahami gagasan rumit secara lebih baik (Leonhardt, 1997:27). Ini berarti, selain memacu kemampuan berbicara, menyimak cerita juga merangsang minat menulis anak. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa cerita juga membantu menumbuhkan kemampuan menulis (emergent writing) anak. Cerita dapat menimbulkan inspirasi anak  untuk membuat cerita. Dengan kata lain, cerita dapat menstimulus anak membuat cerita sendiri.
4.    Merangsang minat baca anak
Bercerita dengan media buku (dengan catatan : guru melakukan praktik membaca dengan benar), menjadi stimulasi yan efektif bagi anak karena, pada waktu itu minta baca anak mulai tumbuh. Minat itulah yang harus diberi lahan yang tepat antara lain melalui kegiatan bercerita. Membacakn cerita dapat menjadi contoh yang baik bagi anak bagaimana aktivitas membaca harus dilakukan. Secara tidak langsung, anak memperoleh contoh tentang orang yang gemar dan pintar membaca dari apa yang dilihatnya. Menstimulasi minat baca anak lebih baik, daripada mengajar mereka membaca. Menstimulasi memiliki efek menyenangkan, sedangkan mengajar seringkali  membunuh minat baca anak, apalagi bila hal tersebut dilakukan secara paksa.
5.    Cerita dapat sebagai multiple intelligences
Melalui cerita, anak akan mulai berpikir secara kritis dan cerdas. Anak juga dapat memahami mana hal yang perlu ditiru dan mana yang tidak boleh ditiru. Hal ini mempermudah mereka dalam mensosialisasikan diri dan menempatkan diri ditengah-tengah masyarakat.[4]



BAB III
PENUTUP

     A.     Simpulan

Cerita anak yaitu cerita yang pembacanya khusus ditujukan untuk anak. Sesuai dengan sasaran pembacanya, cerita anak dituntut untuk dapat diterima oleh anak dan dapat dipahami dengan baik. Cerita anak merupakan gambaran mengenai kehidupan anak yang imajinatif. Cerita tentang anak bisa saja isinya tidak sesuai untuk anak-anak, tetapi sastra atau cerita untuk anak sengaja dibuat dan disesuaikan untuk anak-anak sebagai pembacanya. Untuk menjadi sebuah cerita anak yang baik, maka sebuah cerita anak harus memiliki tiga konsep dasar yang jelas, yaitu keterlibatan, berada dalam dunia anak dan memiliki nilai pesan.
Perkembangan resepsi disini menjelaskan bahwa intensitas proses yang ditempuh anak berbeda-beda. Salah satu faktor pembeda yang sangat menentukan adalah usia dan tingkat perkembangan siswa. Bertolak dari uraian Cullinan (1989), pembedaan itu  harus diorientasikan pada perbedaan tingkat resepsi estetis anak-anak yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yakni usia 0-2 tahun, 2-4 tahun, 5-7 tahun, 7-9 tahun, 9-12 tahun, 12-14 tahun, 14 tahun- keatas. Dari rentangan usia tersebut, bisa disimpulkan semakin bertambah usianya maka, meningkat pula kecerdasan anak untuk memahami sebuah bacaan.
          Manfaat cerita bagi anak adalah  membantu pembentukan pribadi dan moral anak, menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi, merangsang minat menulis anak, merangsang minat baca anak dan sebagai multiple intelligences.



        B.      Saran

Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan pengetahuan mengenai cerita anak. Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisannya, bahasa dan lain sebagainnya. Untuk itu saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dapat terciptannya makalah yang baik dan dapat memberi pengetahuan yang benar kepada pembaca. Pesan dari kami mulailah membaca dari hal yang kecil untuk dapat mengetahui lebih banyak hal yang belum anda ketahui. Dan jadikanlah membaca sebagai kebiasaan anda, karena melalui membaca akan membuka lebih banyak gerbang ilmu untuk diri anda.




[1] Tim Penulis Lapis PGMI, Bahasa Indonesia 2, (Surabaya: Amanah Pustaka, 2009) hlm.7

[2] Ibid, hlm. 8
[3] Alwi Hasan, Tata Bahasa Buku Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 2000) hlm. 18

[4] Mukhlisaddien,  Menulis Cerita Anak, http://mukhlisaddien.blogspot.com/2012/07/menulis-cerita anak.html, Sabtu, 1 Oktober 2016, pkl 15:45 WIB. 

Komentar

Postingan Populer