Makalah Asbabun Nuzul

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Al-Qur’an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyakssikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di anatara mereka peristiwa khusus yang memberikan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum islam mengenai hal itu. Maka Al-Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.

B.       Rumusan Masalah
        1.    Apa pengertian Asbabun Nuzul?
        2.    Sebutkan dan jelaskan jenis – jenis riwayat Asbabun Nuzul?
        3.    Apa saja bentuk-bentuk Asbabun Nuzul?
        4.    Jelaskan redaksi Asbabun Nuzul?
        5.    Bagaimana pandangan ulama tentang Asbabun Nuzul?
        6.    Apa saja manfaat mempelajari Asbabun Nuzul?

C.      Tujuan Penulisan
       1.    Agar pembaca dapat mengetahui tentang pengertian atau definisi dari Asbabun Nuzul.
       2.    Agar pembaca dapat mengetahui jenis- jenis riwayat Asbabun Nuzul.
       3.    Agar pembaca dapat mengetahui bentuk-bentuk Asbabun Nuzul.
       4.    Agar pembaca dapat mengetahui tentang redaksi Asbabun Nuzul.
       5.    Agar pembaca dapat mengetahui pandangan ulama tentang Asbabun Nuzul.
       6.    Agar pembaca dapat mengetahui manfaat-manfaat Asbabun Nuzul.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Asbab An-Nuzul
Secara etimologi asbab an-nuzul terdiri dari dua kata “asbab” (bentuk plural dari kata “sabab”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab/ ‘illat sedang kata “nuzul” berasl dari kata “nazala” yang beerti turun.[1]
Secara etimologi, M. Hasbi Ash-Shiddiqy mengartikan asbab an-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul keadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya Al-Qur’an diturunkan.[2]
Menurut az-Zarkani, asbab an-nuzul adalah “suatu kejadian yang menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat, atau peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.[3]
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Subhi As-Shalih: “Sesuau yang menyebabkan urunnya suatu atau beberapa ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.[4]
Berdasarkan beberapa pendapat sebagaimana disebutkan diatas, secara umum para ulama’ berpendapat bahwa berkaiatan dengan latar belakang turunnya, ayat-ayat al-Qur’an turun dengan dua cara. Pertama, ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatar belakangi. Kedua, ayat-ayat yang diturunkan karena dilatarbelakangi oleh peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunnya ayat inilah yang kemudian disebut dengan “asbab an-nuzul’’.
Dengan demikian “asbab an-nuzul’’ adalah suatu konsep, teori, atau berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.
Para pengkaji ilmu-ilmu Al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang asbab an-nuzul. Untuk menafsirkan al-Qur’an, pengetahuan asbab an-nuzul sangat diperlkan sekali, sehinggaada beberapa pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang ini. Diantara mereka yang terkenal antara lain adalah ali bin Madini, Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya; Asbab an-Nuzul, kemudian Al-Jabari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul Shaikh al-islam Ibn Hajar mengarang suatu kitab megenai “asbab an-nuzul” ini.
Bertitik tolak dngan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, secara umum asbab an-nuzul dalah segala sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat, baik untuk mengomentari, menjawab, ataupun menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan adalah bahwa sebagai peristiwa masa lalu, yakni pada jaman para Nabi dan Rasul tidak semuanya termasuk asbab an-nzul. Peristiwa yang menjadi sabab an-nuzul adalah peristiwa yng menjadi latar belakang turunnya suatu ayat atau surat dalam Al-Qur’an.

B.       Jenis-jenis Riwayat Asbab An-Nuzul
Riwayat-riwayat Asbab An-Nuzul dapat digolongkan kedalam dua kategori, yaitu riwayat-riwayat yang pasti dan tegas, dan riwayat-riwayat yang tidak pasti (mumkin).
Kategori petama, para periwayat dengan tegas menunjukkan bahwa peristiwa yang diriwayatkan berkaitan erat dengan asbab an-nuzul, misalnya Ibn Abbas r.a meriwayatkan tentang turunnya Q.S an-Nisa’: 59;
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً. ﴿۵٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Ayat tersebut diturunkan berkenaan engan Abdullah Ibn HudhaifahIbn Qais Ibn ‘Adi ketika Rsul menunjuknya sebagai panglima sariyya (datasemen; sebuah satuan tugas tentara). Hal ini dijadkan dasar kepastian sebab turunnya ayat tersebut.
Sedangkan katagori kedua (mumkin), perawi tidak menceritakan dengan jelas bahwa peristiwa yang diriwayatkan berkitan erat dengan asbab an-nuzul, tetapi hanya menjelaskn kemungkinan-kemungkinannya. Misalnya riwayat ‘Urwah tentang kasus Zubair yang bertengkar dengan seorang Ansar, karena masalah aliran air (irigasi) di al-Harra. Rasulullah saw bersabda: “Wahai Zubair, aliri air tanahmu dan tanah-tanah sekitarmu”. Sahabat Ansar tersebut kemudian memprotes: “Wahai Rasulullah apakah karena ia keponakanmu? Pada saat itu Rasulullah dengan rona wajah yang memerah dan kemudian berkata: “wahai Zubair, alirkan air ketanahnya hingga penuh, dan kemudian biarkan selebihnya mengalir ke tetanggamu’. Tampak bahwa Rasulullah saw memungkinkan Zubair memperoleh sepenuh haknya, justru sesudah Ansar menujukkan kemarahannya. Sebelum Rasulullah memberikan perintah yang adil bagi mereka berdua.
Sedangkan dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, sabab an-nuzul dapat dibagi menjadi:
1.         Ta’addud al-Asbab Wa an-Nuzil Wahid
Beberapa sebab yang hanya melatar belakangi turunnya satu ayat/wahyu. Terkadang wahyu turun untuk menanggapi beberapa peristiwa atau sebab. Misalnya turunnya Q.S al-Ikhlas: 1-4;
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ﴿٢﴾  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾

“Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tiada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Ayat-ayat yang terdapat pada surat diatas turun sebagai tanggapan terhadap orang-orang musyrik Makkah sebelum Nabi Hijrah, dan terhadap kaum ahli kitab yang di temui di Madinah setelah Hijrah.[5]
2.    Ta’addud an-Nazl Wa al-Asbab Wahid
Satu sebab yang melatar belakangi turunnya beberapa ayat. Seperti contoh berikut:
Q.S ad-Dukhan: 10
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata,”
Q.S ad-Dukhan: 15
“Sesungguhnya (kalau) kami akan melenyap kan siksaan itu agak sedikit Sesungguhnya kamu akan kembali (ingkar).”

Q.S ad-Dukhan: 16 
“(ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami adalah pemberi kebebsan.”

Asbab an-Nuzul dari ayat-ayat tersebut adalah, dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika kaum Quraisy durhaka kepada Nabi saw, beliau berdo’a agar mereka mendapatkan kelaparan umum seperti kelaparan yang pernah terjadi padazaman Nabi Yusuf. Alhasil mereka menderita kekurangan, sampai-sampai mereka makan tulang, sehingga turun Q.S ad-Dukhan ayat 10. Kemudian mereka menghadap Nabi saw untuk meminta bantuan. Maka Rasulullah saw berdo’a agar diturunkan hujan. Akhirnya hujan pun turun, maka turun ayat selanjutnya yaitu Q.S ad-Dukhan ayat 15. Namun setelah mereka memperoleh kemewahan, mereka kembali kepada keadaan semula (sesat dan durhaka) maka turunlah surat ad-Dukhan ayat 16. Dalam riwayat tersebut dikemukakan bahwa siksaan itu akan turun di waktu perang Badar.[6]

C.      Bentuk-bentuk Asbab An-Nuzul
Asbabun nuzul mempunyai dua bentuk, pertama dalam bentuk peristiwa atau kejadian, dan kedua dalam bentuk pertanyaan. Yang pertama, misalnya terjadi suatu peristiwa di kalangan sahabat kemudian turun ayat yang merespon peristiwa tersebut sehingga dapat diselesaikan. Yang kedua dalam bentuk pertanyaan, baik yang muncul dari sahabat atau yang berasal dari orang kafir, yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW kemudian turun ayat untuk menjawab pertanyaan itu.
A.    Asbabun Nuzul dalam Bentuk Peristiwa atau Kejadian
Para mufassir membagi peristiwa itu kepada tiga macam, antara lain:
1.      Perdebatan (jadal).
Yaitu perdebatan antara sesama umat islam atau antara umat islam dengan orang-orang kafir, seperti perdebatan antara sahabat Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang Yahudi yang menyebabkan turunnya surat Ali Imran ayat 96. Mujahid berkata, suatu ketika umat Islam dan Yahudi saling membanggakan kiblat mereka. Orang Yaahudi berkata, Baitul Maqdis lebih utama dari Ka’bah karena ke sanalah tempat berhijrahnya para nabi dan ia terletak pada tanah suci. Umat Islam berkata pula, Ka’bah-lah yang paling mulia dan utama. Maka kemudian turun Surat Ali Imran ayat 96 tersebut, yaitu
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat (beribadah) manusia ialah baitullah yang ada di Bakkah (Mekah).

2.      Kesalahan.
Yaitu peristiwa yang merupakan perbuatan salah yang dilakukan oleh sahabat kemudian turun ayat guna meluruskan kesalahan tersebut agar tidak terulang lagi, seperti kejadian yang menyebabkan turunnya surat An-Nisa’ ayat 43, yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dekati shalat padahal kamu sedang mabuk.
Pada suatu ketika Abdurrahman bin Auf melakukan kenduri, dia mengundang para sahabat Nabi dan menjamu mereka dengan makanan dan minuman khamr. Merekapun berpesta dengan makanan dan minuman tersebut kemudian mabuk. Selanjutnya waktu magrib pun tiba. Mereka lalu shalat dengan diimami oleh salah seorang dari mereka. Sang imam dalam shalatnya membaca surah dengan bacaan yang salah, dia membaca Surah Al-Kafirun dengan tidak membaca huruf nafi pada kata  لاأعبدماتعبدون sehingga ayat itu dibacanya dengan أعبدماتعبدون(aku sembah apa yang kamu sembah). Peristiwa ini disampaikan pada Nabi, maka turunlah ayat di atas.
3.      Harapan dan keinginan.
Seperti turunnya ayat, yaitu:
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu mengadah ke langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada palingkanlah  mukamu ke arahnya.(QS.Al-Baqarah :144).
Al-Barra’ mengatakan setelah sampai di kota Madinah, Rasulullah Saw shalat menghadap baitul maqdis selama 16 bulan, padahal dia lebih suka berkiblat ke Ka’bah. Maka setiap kali shalat, Nabi selalu menengadah ke langit mengharap turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Ka’bah. Maka justru itu, turunlah ayat di atas.

B.     Asbabun Nuzul dalam Bentuk Pertanyaan
Dapat dikategorikan menjadi tiga macam antara lain, pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masa lalu, masa yang berlangsung dan kejadian masa yang akan datang.
1.      Pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal masa lalu.
Pertanyaan mengenai kejadian masa lalu seperti pertanyaan orang Yahudi tentang Dzulqarnain. (QS.AL-Kahfi:83).
Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain.
2.      Pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang sedang berlangsung.
Seperti pertanyaan sahabat tentang hukum menggauli wanita yang sedang haid, yang menyebabkan turunnya ayat, yaitu:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid.(QS:Al-Baqarah:222).
3.      Pertanyaan yang berkaitan hal-hal yang akan terjadi.
Seperti pertanyaan orang kafir tentang kejadian kiamat,yang menyebabkan turunnya surat Al-A’raf ayat 187, yaitu: 
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat:”bilakah terjadinya?” katakanlah: “sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia.(QS.Al-A’raf:187).
Peristiwa yang menyebabkan turunnya suatu ayat pada hakikatnya adalah hadits. Oleh sebab itu, asbabun nuzul termasuk ilmu riwayah bukan dirayah. Ia ada yang shahih dan ada pula yang tidak shahih. Yang boleh dijadikan sandaran hukum hanyalah asbabun nuzul yang shahih. Yang boleh dipedomani dalam menentukan asbabun nuzul adalah perkataan para sahabat yang langsung menyaksikan peristiwa, atau diterimanya berita tentang peristiwa itu dari sahabat lain.
Karena asbabun nuzul itu adalah hadits atau riwayat sahabat, maka untuk mencari asbabun nuzul suatu ayat mestilah merujuk kepada buku-buku hadis, terutama bab mengenai tafsir Alquran. Selain itu, asbabun nuzul juga dapat diketahui melalui buku-buku yang telah ditulis oleh para ulama, khusus mengenai asbabun nuzul, seperti buku Asbab An-Nuzul karya Al-Wahidi. Atau dapat pula diketahui melalui buku-buku tafsir.[7]



D.      Redaksi  Asbabun Nuzul
Ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Al-Qur’an  tidak selamanya sama. Ungkapan-ungkapan itu secara garis besar dikelompokkan dalam dua kategori :
1.    Sarih (jelas)
       Ungkapan riwayat “Sarih” yang memang sudah jelas menunjukkan asbab an-nuzul dengan indikasi menggunakan lafadz (pendahuluan).
            2.    Mutamilah (masih kemungkinan atau belum pasti)
           Ungkapan” mutamilah” adalah ungkapan dalam riwayat yang belum dipastikan sebagai asbab an-nuzul karena masih terdapat keraguan.[8]
         Bentuk redaksi yang menerangkan sebab Nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pertanyaan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab Nuzul ayat ini adalah begini”, atau menggunakan fa ta’qibiyah (kira- kira seperti “maka”,yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia mengatakan : حَدَثَ كَذَا” Telah terjadi peristiwa begini”, atau   سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَذَا فَنَزَلَتْ اْلايَةُ” Rasulullah ditanya tentang hal seperti ini, maka turunlah ayat ini. “Dengan demikian, kedua bentuk diatas merupakan pertanyaan yang  jelas tentang sebab. Contoh – contoh untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.[9]
       Bentuk kedua yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: نَزَلَتْ  هٰذِهِ اْلآيَةُ  فِى كَذَا   mengenai ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. [10]
      Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab.
  1. A) Apabila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan ayat.

B)           Apabila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yang tegas
C)           Apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak , maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
D)           Apabila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
E)            Bila tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
F)            Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang.[11]

E.       Pandangan Ulama Tentang Asbab an-Nuzul
Para ulama’ tidak sepakat mengenai kedudukan Asbab an-Nuzul. Mayoritas ulama’ tidak memberikan keistimewaan khusus kepada ayat-ayat yang mempunyai Asbab an-Nuzul, karena yang terpenting bagi mereka ialah apa yang tertera dalam redaksi ayat. Jumhur ulama’ kemudian menetapkan suatu kaidah:
العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”.
Sedangkan sebagian kecil ulama’ memandang penting keberadaan riwayta-riwayat Asbab an-Nuzul di dalam memahami ayat. Golongan ini juga menetapkan suatu kaidah;
العِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لَا بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumumman lafal”.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ayat-ayat yang diturunkan berdasarkan sebab khusus tetapi diungkapkan dalam bentuk lafal umum, maka yang dijadikan pegangan adalah lafal umum. Sebagai contoh turunnya QS Al-Maidah: 38;  
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembakasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang dilakukan seseorang pada masa Nabi. Tetapi ayat ini menggunakan lafal ‘Am,  yaitu isim mufrad yang dita’rifkan dengan Alif-lam (al) jinsiyyah. Mayoritas ulama’ memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju kepada yang menjadi sebab turunnya ayat.[12]
Sebagaian kecil ulama’ mempunyai sisi pandangan lain. Mereka berpegang pada kaidah kedua dengan alasan bahwa kalau yang dimaksud Tuhan adalah kaidah lafal umum, bukan untuk menjelaskan suatu peristiwa atau sebab khusus, mengapa Tuhan menunda penjelasan-penjelasan hukum-Nya hingga terjadinya peristiwa tersebut.
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama’ yang menolak pendapat kedua dengan alasan bahwa lafal umum adalah kalimat baru, dan hukum yang terkandung didalamnya bukan merupakan hubungan kausal dengan peristiwa yang melatar belakanginya.
Bagi kelompok ulama’ ini kedudukan Asbab an-Nuzul tidak terlalu penting. Sebaliknya mayoritas ulama’ menekankan pentingnya riwayat Asbab an-Nuzul dengan memberikan contoh tentang QS Al-Baqarah: 115; 
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Jika hanya berpendapat pada redaksi ayat, maka hukum yang dipahami dari ayat tersebut ialah tidak wajib menghadap kiblat pada waktu shalat, baik dalam keadaan musafir atau tidak. Pemahaman seperti ini jelas keliru karena bertentangan dengan dalil lain dan ijma’ para ulama’. Akan tetapi dengan memperhatikan Asbab an-Nuzul ayat tersebut, maka dapat dipahami bahwa ayat itu tidak ditujukan kepada orang-orang yang berada pada kondisi normal, tetapi kepada orang-orang yang karena sebab tertentu tidak dapat menentukan arah kiblat.
Kaidah kedua terasa lebih kontekstual, tetapi persoalannya adalah tidak semua ayat-ayat Al-Qur’an mempunyai Asbab an-Nuzul. Ayat-ayat yang mempunyai Asbab an-Nuzul  jumlahnya sangat terbatas. Sebagian diantaranya tidak sahih, ditambah lagi satu ayat kadang-kadang mempunyai dua atau lebih riwayat Asbab an-Nuzul.[13]

F.       Manfaat Mempelajari Asbabun Nuzul
Dalam kaitannya dengan kajian ilmu syariah dapat ditegaskan bahwa pengetahuan asbabun nuzul bermanfaat, antara lain:
1.      Mengetahui hikmah dan rahasia diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum, tanpa membedakan etnik, jenis kelamin, dan agama jika dianalisa dengan cermat, proses penetapan hukum berlangsung secara manusiawi seperti pelarangan minuman keras.
2.      Mengetahui asababun nuzul membantu memberikan kejelasan terhadap beberapa ayat misalnya Qurwah Ibn Zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardhu atas ibadah sa’i antara safa dan marwah.
3.      Pengetahuan asbabun nuzul dapat mengkhususkan hukum terbatas pada sebab, terutama ulama yang menganut kaidah (khusus As-Sabab) “sebab khusus”.
4.      Pengetahuan tentang asbabun nuzul akan mempermudah  orang  menghafal ayat-ayat Al-Qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
5.      Yang paling penting adalah asbabun nuzul dapat membantu memahami apakah suatu ayat berlaku umum atau berlaku khusus, selanjutnya dalam hal apakah ayat itu diterapkan. Maksud yang sesungguhnya suatu ayat dapat dipahami melalui pengenalan asbabun nuzul.[14]

          
             



BAB III
PENUTUP
  A. KESIMPULAN
Secara etimologi Asbab an-nuzul terdiri dari dua kata “asbab” (bentuk plural dari kata “sabab”) yang mempunyai arti latar belakang, alasan atau sebab / ‘illat sedang kata “nuzul “ berasal dari kata “nazala” yang berarti turun. Adapun secara terminologi, asbab an-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan al Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya al Qur’an diturunkan.
Ayat – ayat al qur’an turun dengan dua cara. Pertama, ayat – ayat yang diturunkan oleh Allah tanpa suatu sebab atau peristiwa tertentu yang melatar belakangi. Kedua, ayat- ayat yang diturunkan karena dilatar-belakangi oleh peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi sebab turunnya ayat inilah yang kemudian disebut dengan “asbab an-nuzul”. Dengan demikian “asbab an-nuzul” adalah suatu konsep, teori, atau berita tentang sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.
Redaksi asbab an-nuzul dibagi menjadi dua yaitu, sarih dan muhtamilah. Fungsi ilmu asbab an-nuzul, diantaranya pertama, seseorang dapat mengetahui hikmah di balik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu. Kedua, seseorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunnya suatu ayat. Ketiga, seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan. Keempat, seseorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada Rasulullah dan selalu bersama para hamba-Nya.



DAFTAR PUSTAKA

Ali As-Shabuni. 1987. Rawaii al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an,
Juz 1.Beirut: Dar al-Kutub.
Dahlan, H.A.A.  2009. Asbab an-Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
M. Quraish Shihab, dkk. 1999. Sejarah dan Ullum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Manna’ Khalil al-Qattan. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Muhammad ‘Abd. Al-Adzhim al-Zarqani. 1988. Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri.
Muhammad Chirzin, dkk. 1998. Sejarah dan ‘Ulum Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Tim Reviewer MKD 2014. 2014. Studi Al-Qur’an. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
Yusuf, Kadar M. 2009. Studi Alquran. Jakarta: Amzah.




[1] Muhammad Chirzin, dkk.1998. Sejarah dan ‘Ulum Al Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus. hlm. 77.
[2] Ibid.
[3] Muhammad ‘Abd. Al-Adzhim al-Zarqani. 1988. Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri.  hlm. 106.
[4] Tim Reviewer MKD 2014.  2014. Studi Al-Qur’an. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press. hlm.
    230.
[5] Ibid.  hlm. 236.
[6] Dahlan, H.A.A. 2009. Asbab an-Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro. hlm. 477-488.
[7] Yusuf, Kadar M. 2009. Studi Alquran. Jakarta: Amzah. hlm. 91-94.
[8] Tim Reviewer MKD 2014. hlm.239.
[9] Manna’ Khalil al-Qattan. 2013. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
hlm.120
[10] Ibid. hlm.121.
[11] Ibid. hlm.132.
[12] Ali As-Shabuni. 1987. Rawaii al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an, Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub.  hlm. 615.
[13] M. Quraish Shihab, dkk. 1999. Sejarah dan Ullum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
 hlm. 89-91.
[14] Ibid. hlm. 79-80.

Komentar

Postingan Populer